Tiba Di Pulau Nias
Kini kapal sudah merapat di Pelabuhan Gunung Sitoli. Perlahan sepeda
motor keluar dari dalam kapal bergantian dengan truck barang.
Hemmm…akhirnya kaki ini mengunjakan kaki untuk pertama kalinya di Pulau
Nias. Dari sini kami hendak langsung menuju Kota Gunung Sitoli membeli
beberapan perlengkapan yang belum ada. Namun apa yang terjadi??? Baru
berjalan beberapa meter meninggalkan Pelabuhan sepeda motor saya di
hentikan oleh polisi di Pos Polisi pelabuhan. Wahh…syok terapi nih,
masih pagi harus “sarapan” surat tilang. Duit 80 ribu melayang begitu
saja hasil negosiasi setengah jam dengan petugas pos polisi pelabuhan.
Kesalahan saya adalah karena Plat nomor polisi saya tidak asli. Ini
mungkin bisa dijadikan.pelajaran buat temen-temen yang mau bepergian
jarak jauh memakai sepeda motor.
Urusan dengan polisi selesai, kami lanjutkan menuju Kota Gunung
Sitoli. Maksud hati mau beli spirtus untuk kompor, ternyata setelah
sekian banyak toko bangunan di datangi tidak ada yang jual. Pilihan
terakhir adalah Apotik! ya…karema spirtus susah di cari akhirnya
alternatif bahan bakar di ganti dengan Alkohol. Dan karena harga alkohol
kadar 90/100% tidak ada, jadinya alkohol 70% yang dibeli seharga 25
ribu/ 1000ml untuk bahan bakar kompor “Tragisnya” karya sendiri ( kompor
dari kaleng minuman bekas di padu dengan tungku kompor parafin).
Kompor Tragisnya, Not Trangia
Tempat pertama yang menjadi tujual kami adalah Kecamatan
Gomo. kecamatan Gomo adalah salah satu kecamatan ysng termasuk wilayah
dari kabupaten nias selatan, gomo menurut sejarah orang nias adalah
tempat pertama kalinya nenek moyang orang nias bermukim yaitu di Desa
Sifalago gomo lebih dikenal dengan sebutan “BORONADU BOROTA
NIHA”,boronadu merupakan Desa yang tertua di kabupaten Nias
selatan. Untuk mencapai desa ini, lagi-lagi kami hanya bermodalkan
tanya-tanya sama penduduk sekitar. Banyak orang-orang yang
memperingatkan aku dan Juju untuk tidak pergi ke desa ini. Diyakini oleh
beberapa orang, penduduk Desa Gomo masih menganut budaya kanibalisme
yang sebenarnya sudah dihapuskan dari lama. Jangankan wisatawan,
penduduk Nias saja jarang sekali mengunjungi desa ini karena takut. Dari
hasil surfing di internet, saya mendapatkan info bahwa di Gomo masih
tersimpan beberapa batu megalith besar yang bertebaran di halaman rumah.
hal inilah yang membuat kami nekat masuk kepedalaman dimana kami buta
akan akan medan sama sekali
.
Untuk menuju desa ini medan perjalanan sangatlah sulit. Dimana kita
harus melalui jalanan berbatu yang banyak tanjakan dan turunan extrim.
Badan jalan yang awalnya cukup lebar perlahan mulai menyempit berupa
jalan setapak. Barulah kami sadari ternyata kami sekarang sedang berada
di pedalaman Nias. Tergambar jelas dari kampung-kampu.g yang kami lalui
masih terlihat rumah adat dengan atap rumbia. Disini belum ada aliran
listrik dan banyak penduduknya yang tidak bisa bahasa Indonesia. Ini
beberapa kali kami jumpai ketika hendak bertanya arah jalan. Jalanan
yang rusak tentu menghambat perjalanan. Beberaapa kali sepeda motor kami
harus menyeberangi sungai di karenakan tidak adanya jembatan. Beberapa
titik di tengah jalan dipasangi portal menutup jalan. Ternyata
masyarakat setempat yang memasang dan bagi yang lewat seperti kami harus
membayar sejumlah uang. Tentu saja kami cari aman, tidak mau berrdebat
mengingat kami berada di kampung orang dan juga dipedalaman nias pula.
Setelah melalui itu semua kami sampai di Desa Lahusa, kami sempat
berhenti di karena melihat sebiah komplex pemakaman yang banyak ornamen
patung. Semula kami mengira inilah komleks batu megalitikum tersebut.
Ternyata bukan. Saat kami berhenti disana kami dihampiri oleh sejumlah
pemuda, mereka meminta uang dan barang-barang kepada kami.
Wahh…pemerasan ini namanya. Dengan sejurus kami berkilah dan langsung
memacu sepeda motor. Untung mereka tidak mengejar kami. Maklumlah desa
ini adalah desa dipedalaman yang minim fasilitas. Bisa dikatakan desa
tertinggal bila tidak maudikatakan desa primitif. Dimana penduduknya
jarang dapat berbahasa Indonesia, bahkan aliran listrik dari PLN belum
menyentuh desa ini.
Turun sedikit akhirnya kami sampai di simpang menuju kompleks batu
megalitikum. Ketika hendak berbelok ke simpang tersebut kami di hentikan
oleh pria paruh baya mengendarai sepeda motor Jupiter MX warna merah
dengan tas hitam disandangnya. Beliau bertanya tujuan kami. Kira-kira
begini percakapan kami.
“Bapak: Mau kemana kalian?
Kami: Mau ke Gomo pak, lihat batu megalitikum itu.
Bapak: Mari saya antar, itu dibelakang rumah saya.
Kami: Iya pak.
Bapak: Kalian menginap saja dirumah saya. Ini sudah sore.
Kami: Tidak usah pak, kami hanya sebentar. Mau lanjutkan perjalanan ke Teluk Dalam.”
Kami: Mau ke Gomo pak, lihat batu megalitikum itu.
Bapak: Mari saya antar, itu dibelakang rumah saya.
Kami: Iya pak.
Bapak: Kalian menginap saja dirumah saya. Ini sudah sore.
Kami: Tidak usah pak, kami hanya sebentar. Mau lanjutkan perjalanan ke Teluk Dalam.”
Dengan refleks bapak tersebut memutar arah sepeda motor searah dengan
kami. Dan menyuruh kami mengikutinya. Teman saya Toni di ajak
berboncengan dengan bapak tersebut. Kami melaju menaiki jalanan setapak
dengan tanjakan yang terjal dan panjang. Bapak berada di depan
berboncengan dengan Toni, disusul oleh saya serta Rajman dam Majid di
belakang. Di penghujung tanjakan sepeda motor bapak terjatuh beguling
bersama Toni. Saya yang persis berada dibelakang mereka menabrak mereka
dan terjatuh di sisi kanan jalan.
anjakan terjal gila, menuju komleks batu megalitikum
Beberapa saat kemudian kami sampai di rumah bapak tersebut. Kami
dipaksa untuk menginap. Awalnya kami takut dan berusaha menolak tawaran
tersebut. Tapi karena bapak terus memaksa akhirnya kami iyakan juga.
Tentunya setelah kami rembukan. Alasan kami berusaha menolak untuk tidur
di sini adalah:
1. Kami sadar berada di pedalman Nias.
2. Ajakan bapak tersebut yang terkesan memaksa, Sehingga kami takut ada maksud lain di balik itu semua.
1. Kami sadar berada di pedalman Nias.
2. Ajakan bapak tersebut yang terkesan memaksa, Sehingga kami takut ada maksud lain di balik itu semua.
3. Kami teringat cerita bahwa saat ini marak tindakan kriminal di Nias.
4. Sifat orang Nias yang tertutup pada orang pendatang.
Itu semua menjadi pertimbangan kami sebelum memutuskan bermalam
dirumsh ini. Akhirnya kami iyakan juga. Kami memasak makanan dan makan
sementara bapak itu pergi. Sekembalinya dia mengajsk kami makan. Dia
menawarkan makan ubi dan babi. Tentu saja saya kaget mendengar ajakan
tersebut. Kami menolak dengan alasan kami baru saja makan.
Masih terngiang di benak saya ucapan Bapak tersebut “ada ubi, ubi
kita maka. ada babi, babi kita maka”. Haha…tedengar lucu beliau
mengucapkan kalimat itu dengan logat Nias. Belakangan saya ketahui bahwa
ubi adalah makanan pokok mereka.
Oia….sebelum gelap kami sempatkan untuk melihat dan mendokumentasikan
kompleks batu megalitikum yang menjdi tujuan kami datang ke tempat
terpencil ini.
Meja Batu megalitikum, salah satu peninggalan sejarah
Batu Tiga leher
-Menuju Pantai Sorake dan Pantai Lagundri
Sekitar pukul 7 pagi kami mulai bergerak meninggalkan Desa Lahusa
dengan terlebih dahulu berpamitan kepada Pak Magustav dan isterinya.
Sepeda motor dipacu menuju arah teluk dalam. Tujuan kami adalah Pantai
Sorake dan Pantai Lagundri. Jalanan yang jelek berupa bebatuan masih
setia menemani, juga sungai pun harus diseberangi.
Terhitung sudah 4 buah sungai tanpa jembatan kami seberangi. Kami
juga melewati pasar rakyat, ada pemandangan tak biasa di mata saya. Ada
beberapa buah lapak pedagang menjual daging babi, tanpak jelas itu
daging babi karena kepala babi turut dipajang. Pemandangan yang tak
lazim di jumpai dikota asal saya.
Tak ada jembatan, sungai pun diseberangi
Habis itu semua kami mulai melalui jalanan yang lumayan lebar namun
masih berbatu. Setelah sekian lama kami baru menjumpai jalanan aspal
mulus. Merdeka !!! Akhirnya sepeda kami terbebas dari jalanan hancur dan
sekarang dapat memacu sepeda motor hingga kecepatan 80 km/jam.
Di sepanjang jalan menuju teluk dalam disisi kiri terhampar lautan
biru luas membentang. Sungguh indah ini semua. Di suatu tempat kami
berhenti di tepi jalan. Tempat itu bernama Genasi. Tempat dimana kita
dapat memandang luasnya laut biru sejauh mata memandang dari ketinggian.
Sehingga sayang melewatkan spot indah ini tanpa di abadikan dalam foto.
Genasi,,tempat
ini bisa dilewati dalam perjalanan dari gunung sitoli ke teluk dalam
atau sbaliknya..kalo cuaca lg bagus, warna lautnya juga makin bagus
Kemudian kami lajut lagi menuju kota Teluk Dalam. Sepajang jalan kami
dihidangkan pemandangan laut nan indah disisi kiri. Wow…tak terasa
lelah mengendarai sepeda motor bila ditemani pemandangan indah seperti
ini.
Beberapa lama kemudian sampai juga di Kota Teluk Dalam, kami tidak
singgah di kota ini. Hanya
beberapa kali berhenti bertanya arah ke
Pantai Sorake kepada orang. Setelah petunjuk jalan kami rasa jelas
sepeda motor pin di gas poll langsung menuju Pantai Sorake. Sekitar 1
jam dari kota Teluk Dalam kami tiba di Sorake.
Berjalan menyusuri pantai Lagundri
Indahnya lekukan pantai lagundri yang berada di teluk
Pantai Sorake menjadi tempat yang pertama
dikunjungi pada hari ini. Namun apa lacur? Bayangan awal pantai Sorake
dalam benak kami adalah pantai putih dengan ombak besar dan banyak
“bule-bule” berbikini di pantai. Namun kenyataan berkata lain. Pantai
Sorake hanya pantai batu karang dengan ombak yang tinggi dan tidak
banyak bule. Hanya beberapa orang bule yang tampak sedang bermain
selancar dan duduk di pantai.
Tarzan beach boy
Cari objek foto
Dari info masyarakat setempat, memang
bulan ini tidak banyak turis asing. Pada saat Summer Time saja banyak
turis asing disini. Yaitu antara bulan mei sampai juli. Dimana kontes
Surfing internasional digelar tiap tahun. Garis ombak ombak panjang
setiggi 10 meter tentu saja menjadi daya pikat penggila selancar dari
penjuru dunia.
Bergaya ala peselancar profesional
Mau main selancar di laut gak bisa berdiri, mending dipasir aja gak bakalan jatuh. haha
Karena kami ke pantai hendak camping. Pantai Sorake terasa tidak
cocok karena pantai yang berbatu karang tanpa pasir. Akhirnya kami
pindah menuju pantai Lagundri berjarak sekitar 1 Km dari Sorake.Tiba di
lagundri langsung permisi pada pemilik warung untuk mendirikan tenda di
pantai
.
Our Camp
Disilah kami akan bermalam sampai esok siang. Sengaja kami
camping disini agar puas main di pantai indah ini. Dari mulai menyewa
papan salancar seharga 30 ribu. Jalan-jalan di pantai. Duduk melihat
aksi selancar orang-orang yang sudah pro dan beraktivitas lainnya
menikmati undahnya pantai. Di sore hari dikala matahari hendak terbenam,
sunset indah kami abadikan dalam bentuk foto
.
Sunset di Lagundri bay
Malam tiba kami hanga duduk di depan tenda dengan kursi yang di
pinjemin oleh pemilik warung. Cahaya pi unggun, nyanyian di iringi
gitarmembuat syasana malam itu begitu menenangkan.
-Lompat Batu, Desa Bawu Mataluo
Esok siangnya kami packing dan segera bergerak menuju Desa Bawu
Mataluo. Desa Bawu Mataluo adalah lokasi dimana Lompat Batu Nias yang
terkenal ke seantero jagad. Berjarak sekitar 45 menit dari Pantai
Lagundri.
Sesampainya disana kami di tawari atraksi
lompat batu dengan imbalan biaya 150 ribu untuk 3 kali lompatan. Namun
karena kami adalah Backpacker “ngepas” maka kami tidak menerima tawaran
tersebut. Jadilah kami hanya berjalan-jalan di temani oleh satu orang
pemandu wisata yang menceritakan sejarah. Bawu Mataluo adalah sebuah
Desa Adat berupa kompleks perumahan tradisional dengan rumah penduduk
yang arsitekturnya sama. Ada satu rumah yang beda, terlihat besar itu
adalah rumah raja. Dan yang menempati rumah tersebut adalah generasi
kelima dari raja.
Di depan rumah raja
Di desa ini kita akan di buat sedikit tak nyaman oleh anak- anak yang
berjualan souvenir yang berebut menawarkan barang jualannya mengikuti
kemanapun kita pergi. Desa Bawu Mataluo yang artinya
Matahari Terbit terletak di atas sebuah bukit. Dari sini Pantai Sorake
dan Lagundri terlihat jelas berupa teluk dengan garis pantai melengkung
membentuk huruf U.
Hal pertama yang saya cari sesampainya di desa ini adalah Lompat
Batu, yang ternyata terletak di depan rumah raja. Kesempatan untuk
mengabdikan dalam bentuk foto tak boleh di lewatkan. Karena ini adalah
bukti bahwa saya sudah sampai ke Pulau Nias dan melihat langsung tugu
lompat batu.
Pemandu kemudian mengajak kami berkeliling kompleks desa adat,
kemudian ke sebuah rumah yang pemiliknya adalah pengrajin souvenir. Dan
lagi-lagi, karenaketerbatasan budget alias backpacker kere kami tak
membeli satupun souvenir. Padahal dalam hati ini sangat ingin membeli
Patung berbentuk Lompat Batu Nias untuk di pajang di kamarku.
Souvenir, kerajinan tangan warga Desa Bawu Mataluo
Sekitar 1 jam kami berkeliling, akhirnya kami menyudahi tour singkat
ini untuk melanjutkan kembali perjalanan. Pemandu yang membawa kami
berkeliling kami beri imbalan suka rela sebesar 20 ribu. Kemudian
membayar parkir sepeda motor 5 ribu rupiah.
Desa ada Bawu Mataluo
Akhirnya saya bisa melihat Lompat Batu Nias secara
langsung, tidak seperti waktu anak-anak dulu. hanya dapat Lompat batu
dari gambar yang ada di uang seribuan. Next !, kami menuju kota teluk
dalam. Di kota teluk dalam kami hanya berkeliling sebentar dan langsung
menuju pelabuhan. Kami memang berencana untuk pulang lewat Teluk Dalam.
Mencoba suasana baru, sebab bila kami harus kembali ke Pelabuhan Gunung
Sitoli terlalu jauh.
-Pulang
Sesampainya di pelabuhan Teluk Dalam, langsung disajikan kondisi
pelabuhan yang mengenaskan. Beda jauh dengan dengan Pelabuhan Gunung
Sitoli yang fasilitasnya bagus. banyak gedung yang tidak terawat. Untuk
mebeli tiket tidak melalui loket, melainkan langsung di beli didalam
kapal. Yang tadinya kami berangggapan tiket kapal via Teluk Dalam lebih
mahal, karena logikanya jarak Teluk dsalam ke Sibolga lebih jauh.
Berikut rincian biaya tiket kapal Teluk Dalam-Sibolga:
Orang: Rp. 60.ooo
Sepeda Motor: Rp. 110.000
Sepeda Motor: Rp. 110.000
Usai beli tiket kami kembali ke Kota Teluk Dalam mengingat kami belum
makan siang sementara hari sudah mulai sore. Menurut jadwal kapal
berangkat pukul 8 malam. Aagak susah kami mencari rumah makan muslim
disini, dan akhirnya ketemu rumah makan minang. Sembari makan, kami
berbincang tentang sesuatu yang janggal dan belum lengkap dalam
perjalanan ini, yaitu kenang-kenagan. Mengingat duit yang terbatas, kami
hanya mampu membeli baju kaos bergambar Lompat Batu. Lumayanlah buat
kenang-kenangan.
Kemudian kami menuju pelabuhan dan memasuki kapal menuju lantai 2.
Hal yang berbeda kami jumpai di kapal ini. Bila sewaktu berangkat kapal
penuh sesak mirip barak pengungsian. Pada perjalanan pulang ini hal yang
kontas terjadi. Dimana kapal lengang, deretan kursi dan tempat tidur
banyak yang kosong. Sungguh nyaman perjalanan pulang menggunakan kapal
KMP. Raja Enggano ini. Fasilitas lengkap dan bersih membuat perjalanan
ini nyaman. Penumpang hanya di dominasi oleh sopir-sopir truck barang
yang hendak menyeberang. Trooott….Trooott….Trooott…. suara klakson kapal
berbunyi 3 kali, menandakan kapal akan meninggalkan pelabuhan. Palka
kapal di tutup kemudian kapal mulai beranjak meninggalkan Pelabuhan
Teluk Dalam pukul 9 malam. Berjaalan membelah lautan luas dimana hanya
nampak kegelapan malam sejauh mata memandang. Dan akhirnya esok paginya
kapal kami sudah merapat di Pelabuhan Sibolga.
Hemm…lega rasanya telah berhasil mencapai angan. Satu lagi kisah
petualangan baru telah kulewati. Memang enak hidup bila terus
berpetualang. Terasa indah menjalani kehidupan ini berkelanan ke
tempat-tempat baru, menemuai hal-hal baru. Petualangan berikutnya telah
menunggu di depan mata, maka saya harus berkata “saatnya nabung lagi!!!”
haha
Demikan kisah petualangan Si Bocah Rimba menjelajahi Pulau Nias yang
eksotis, semoga kisah ini menjadi inspirasi buat kawan-kawan semua.
Salam Petualangan !!! Ya’ahowu !
![]() |
YA,AHOWU.....................!!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar